Kegiatan

Baritan, Sedekah Laut Khas Sugihwaras

Kelurahan Sugihwaras merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kabupaten Pemalang. Letaknya tepat berbatasan dengan Kabupaten Tegal. Wilayah Kelurahan Sugihwaras merupakan wilayah pesisir yang terkenal dengan nama daerah Tanjungsari. Nama Tanjungsari sendiri di ambil dari sebuah legenda, yang konon katanya, dahulu kala ada seorang patih bernama Patih Jongsari, yang dicintai oleh anak bupati. Namun, karena bupati tersebut tidak menyetujui hubungan anaknya dengan sang patih, patih Jongsari pun kemudian dibunuh di bawah pohon tanjung, sehingga munculah nama Tanjungsari. Ada pula versi yang berbeda yang menceritakan tentang Dewi Mayangsari dan Pangeran Benawa. Dikisahkan, Pangeran Benawa pergi meninggalkan Dewi Mayangsari. Karena mendengar kabar Pangeran Benawa lari ke Pemalang, akhirnya Dewi Mayangsari pun menyusulnya lewat jalur laut. Pangeran Benawa yang tahu bahwa Dewi Mayangdari menyusulnya pun meminta Kiai Mangori untuk menyuruh Dewi Mayangsari pulang. Namun, Dewi Mayangsari tetap memaksa. Kiai Mangori yang kesal lantas menusuk Dewi Mayangsari dengan keris. Lalu mayatnya dikuburkan di bawah pohon tanjung. Maka dinamakan Tanjungsari.

Nama Tanjungsari sendiri diakui oleh masyarakat lebih populer ketimbang nama Sugihwaras. Tanjungsari bahkan dijadikan nama TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan nama pantai yang ada di Sugihwaras. Berbicara tentang pantai, dan kelurahan Sugihwaras yang merupakan daerah pesisir, masyarakat ternyata memiliki kebudayaan pesisir berupa sedekah laut yang biasa disebut baritan.

Baritan sendiri merupakan sedekah laut yang dilaksanakan oleh masing-masing kelompok nelayan dan KUD Tanjungsari dengan cara melarung sesajen, kepala kerbau, mainan tradisional, macam-macam bunga, dan sebagainya dalam sebuah wadah berbentuk kapal, lalu di larung ke tengah laut (8 mil dari bibir pantai). Masing-masing kelompok nelayan melakukan baritan setiap setahun sekali. Sedangkan, KUD Tanjungsari setiap dua tahun sekali. Menurut Bapak Wijonarko, awalnya KUD melakukannya setiap setahun sekali. Namun, karena membutuhkan biaya yang besar, dan beberapa nelayan yang terpinggirkan sehingga pemasukan ke KUD kurang, maka KUD melaksakannya setiap 2 tahun sekali. Namun, untuk baritan yang dilaksanakan oleh masing-masing kelompok nelayan, biaya yang dikeluarkan tidak sebesar baritan KUD yang merupakan baritan induk.

Biasanya, acara baritan induk yang dilakukan oleh KUD Tanjungsari dengan adanya hiburan seperti dangdut, orkes, dan wayang dalam satu hari satu malam. Yang menarik di sini adalah, dalang dari wayang tersebut akan ngruwat (mambacakan doa-doa) sebelum acara baritan berlangsung. Masyarakat dapat meminta cerita wayang yang akan ditampilkan kepada dalang secara langsung.

Menurut bapak Assiqun, yang merupakan salah satu nahkoda yang dituakan di kelompok nelayan, mengakui bahwa baritan tersebut memang wajib dilaksanakan. Biasanya, hal tersebut dilatarbelakangi untuk mencari keberkahan dan keselamatan ketika melaut. Sehingga nanti ikan-ikan dapat melimpah dan bisa menyejahterakan nelayan. Jika ketika baritan, sesajen atau hal-hal yang akan dilarung tidak lengkap, maka pasti akan ada saja kendala yang dihadapi. Sehingga untuk melakukan baritan tidak sembarangan. Harus dipersiapkan dengan matang. Air laut yang menjadi pusat dari larung sesajen tersebut biasanya diperebutkan oleh nelayan, yang digunakan untuk menyiram kapal-kapal mereka agar menjadi berkah.

Tradisi ini sudah turun-temurun. Masyarakat Sugihwaras khususnya para kelompok nelayan hanya menjalankan sebagai sebuah trasisi yang harus dilestarikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *